TRADISI MEMBACA
Kalau mau jujur, dalam keadaan apapun kita, pasti ada tindakan yang baik, yang benar, atau yang bermanfaat, yang bisa kita lakukan untuk anak-anak kita. Salah satunya adalah perpustakaan di rumah. Perpustakaan di sini tak harus kita pahami seperti layaknya perpustakaan yang sudah kita ketahui.
Mungkin bisa kita sederhanakan menjadi semacam koleksi buku.Yang penting, dari sekian benda / perabot yang kita miliki, perlu ada benda yang namanya buku bacaan. Dari sekian space yang kita pakai di rumah, perlu ada space yang kita pakai untuk membaca. Dari sekian kegiatan di rumah, perlu ada kegiatan yang namanya membaca sebagai tradisi.
Kenapa ini menjadi penting? Kalau melihat perkembangan manusia dari sisi teori dan prakteknya, membaca punya peranan penting bagi manusia. Yang sangat bisa kita rasakan, membaca tidak saja akan menambah pengetahuan kita tentang dunia ini. Membaca juga akan menambah pengetahuan kita tentang diri kita.
Jika merujuk ke istilah dalam psikologi, membaca dapat memperbaiki konsep-diri bagi anak-anak dan orang dewasa. Baik langsung atau tidak, anak-anak yang otaknya sering kemasukan materi positif, misalnya cerita kepahlawanan atau apa saja, pasti materi itu akan ikut aktif membentuk kepribadian, karakter, dan opini si anak tentang dirinya.
Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, konsep diri itu terkait dengan tingkat kepercayaan diri, motivasi diri, dan kebahagian diri. Anak yang kurang terinspirasi untuk mengetahui sisi-sisi positif dari dirinya, akan merasa minder atau punya mentalitas lemah, yang sedikit-dikit merasa tidak mampu atau tidak bisa. Konsep diri merupakan modal penting bagi anak-anak untuk meraih prestasi.
Selain itu, membaca juga sudah terbukti dapat memunculkan inspirasi atau refleksi yang merupakan modal penting juga untuk membuat hidup menjadi lebih baik. Detail materi yang dibaca anak kita atau yang kita baca, bisa jadi akan terlupakan. Tapi, pelajaran yang kita serap dari materi itu biasanya akan abadi.
Mungkin hal semacam itu yang bisa menjawab adanya fakta yang tidak berbanding lurus antara kematangan mental dan prestasi akademik. Kalau kita atau anak kita membaca hanya karena tuntutan ujian sekolah (bukan tradisi intelektual), mungkin otak kita tidak sempat berefleksi. Kita memaksa otak untuk menghafal jawaban yang akan ditanyakan.
Padahal, sekeras apapun kita menghafal materi akademik itu, dalam waktu tiga bulan saja sudah lebih dari 60% yang akan hilang (tertimbun). Dalam setahun, mungkin hanya 20-30% yang tersisa. Akhirnya, biar secara akademik kita bagus, tetapi kemajuan mental kita tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Itulah kenapa perpustakaan itu sangat tepat untuk membentuk tradisi berpikir.
Yang terpenting lagi, membaca dapat menambah jumlah koneksi dalam otak anak, seperti yang terungkap dalam berbagai temuan ilmiah. Membaca di sini sebagai stimuli positif. Semakin banyak jaringan yang terbentuk, otak anak akan menjadi semakin responsif dan kreatif.
Dari catatan para ilmuan, seperti dikutip Prof. Quraish Shihab (1994), kemajuan suatu bangsa itu juga diawali dari budaya membaca. Duapuluh tahun sebelum bangsa itu mencapai kemajuan, tradisi membaca sudah mereka mulai. Kalau kita ingin melihat efek nyata dari tradisi membaca yang kita tanamkan pada anak-anak, jangan sekarang. Mari kita lihat duapuluh tahun lagi.
Tempat Jin Berpacaran
Terbukti, dari sejumlah negara yang kini menyalip kemajuan kita, mereka telah memiliki tradisi membaca yang jauh lebih bagus dari kita sejak beberapa tahun lalu. Tahun 1995, yang berarti 14 tahun lalu, buku yang terbit di Indonesia baru mencapai 5000 judul. Sementara, Thailand 8.000 judul, Malaysia 12.000 judul, dan Korea selatan 43.000.
Padahal, negara-negara ini jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dibanding kita. Dari 5000 judul yang terbit itu, yang terjual hanya 30.000 eksemplar pertahun. Bandingkan dengan jumlah kaset yang terjual. Tahun 1995 saja, kaset yang terjual di kita sudah mencapai 95 juta keping, sudah melebihi jumlah penduduk usia kerja.
Ada semacam guyonan dari orang Malaysia tentang Indonesia. Dulu, mereka sempat mengirim beberapa pelajar dan guru ke Indonesia untuk belajar. Sekarang-sekarang ini, mereka tidak lagi mengirim, tapi lebih sering mendatangkan tenaga senior dari kita untuk mengajar di sana. Kata guyonan itu, "Dulu, kami belajar dari Indonesia supaya bisa berhasil. Sekarang ini, kami juga masih belajar dari Indonesia supaya tidak terpuruk seperti kalian."
Sampai tahun 2008 kemarin, bicara minat baca kita masih banyak catatan. Jumlah penerbitnya mengalami kenaikan yang cukup tajam, tapi jumlah pembacanya hanya naik secara berlahan. Minat baca masyarakat pun sepertinya lebih karena dorongan tren atau ikut-ikutan ketimbang kesadaran pengembangan-diri yang dilakukan secara kontinyu.
Selain itu, tanda-tanda adanya geliat minat baca juga baru terjadi di beberapa kota besar, 60-80%-nya di Jabodetabek. Kalau kita kunjung ke daerah, toko buku yang besar itu adanya di propinsi. Itu pun tidak besar-besar amat. Nasib perpustakaan pun tidak lebih baik. Beberapa perpustakaan mirip seperti gedung tua yang jarang dikunjungi manusia, laksana tempat jin pacaran.
Itulah kenapa kalau melihat laporan Human Development Index (HDI), ranking kita masih berada di level menengah-bawah. Tahun 2007-2008, kita berada di posisi 107 dari 177 negara. Posisi ini masih kalah dengan tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Philipina. Bahkan di beberapa sektor, kita lebih rendah dari Vietnam, Jamaica, dan Algeria.
Tujuan Membaca
Dengan berinisiatif untuk mengadakan perpustakaan / koleksi buku bacaan di rumah, apa berarti kita telah / ingin mencetak anak menjadi seorang kutu buku? Satu hal yang perlu kita sadari di sini bahwa membaca itu bukan tujuan. Membaca adalah salah satu bekal atau jalan untuk mencapai tujuan.
Tujuannya adalah agar anak-anak kita terbiasa dengan pola hidup yang mengedepankan kapasitas intelektual, nalar yang sehat, mandiri dalam mengambil keputusan, berwawasan luas, dan kaya referensi dalam mengatasi persoalan. Kalau meminjam istilahnya Sternberg dari Yale University, tujuannya adalah agar kita lebih cerdas menghadapi hidup.
Jadi, mau anak kita menjadi kutu buku atau tidak, sejauh praktek hidupnya nanti itu menjadi lebih baik, berarti dia sudah pada track yang tepat. Tapi kalau membaca hanya untuk membaca, ini sama seperti sindiran Kitab Suci yang mengatakan bagai keledai mengangkut buku di kepalanya. Buku itu tak mencerahkan dia, melainkan malah membebani hidupnya.
Supaya anak kita tercerahkan hidupnya dari bacaan, yang perlu kita perhatikan adalah memilih materi bacaan. Kata Jim Rohn, membaca itu sangat penting, tetapi yang lebih sangat penting lagi adalah memilih bacaan yang pas. Biasanya, bacaan yang tidak sesuai dengan keadaan kita hanya berguna dipakai untuk bercakap-cakap atau kurang ngefek pada perbaikan praktek hidup.
Karena itu, koleksi buku yang kita persiapkan di rumah pun perlu kita sesuaikan dengan kebutuhan perkembangan kita atau anak kita. Yang ideal, koleksi buku itu perlu ada bacaan umum (pengetahuan umum) dan bacaan khusus yang sesuai dengan minat, bakat, hobi, atau kebutuhannya, misalnya cerita pahlawan yang membangkitkan, dan lain-lain.
Beberapa Cara Memunculkan Tradisi Membaca
Dengan maraknya hiburan dan tontonan melalui program TV, CD, dll, anak-anak kita mungkin bisa memiliki tradisi yang lebih kurang kondusif lagi dibanding generasi kita bagi kemajuan bangsa ini. Kenapa? Di saat fasilitas hiburan dan tontonan masih belum menjamur seperti sekarang ini saja, tradisi kita bukan membaca, yang merupakan penggerak nalar, tapi nonton dan dengar.
Sebab itu, kita sebetulnya punya kesamaan kepentingan untuk mengimbangi tradisi nonton dan dengar dengan tradisi membaca. Kalau mau jujur, menonton satu tahun belum tentu punya efek yang lebih kondusif bagi perkembangan nalar dibanding dengan membaca satu buku yang pas.
Apa saja yang perlu kita lakukan untuk menumbuhkan tradisi membaca pada anak atau keluarga? Cara-cara di bawah ini mudah-mudahan bisa menambah bantuan:
- Hadiah ulang tahun atau momen penting, seperti kenaikan kelas, jangan melulu berupa pesta atau pakaian. Sekali-kali buku bacaan atau ditambah dengan buku bacaan.
- Oleh-oleh perjalanan jangan melulu makanan atau benda-benda antik. Perlu kita tambah juga dengan buku / bacaan lain
- Tempat hiburan jangan melulu ke mall, restoran, atau semisalnya. Sekali-kali ke perpustakaan, musium bersejarah atau ke toko buku
- Dukung minat anak / keluarga untuk berlangganan majalah atau bacaan sesuai kemampuan dan kebutuhan.Menerima kiriman majalah atas nama sendiri merupakan pengalaman yang menyenangkan
- Sediakan waktu untuk mendengarkan bila anak / keluarga ingin menceritakan isi buku yang telah mereka baca. Anak-anak akan menyukai saat seperti ini.
- Membaca bersama atau bergantian lalu saling menceritakan. Ini akan menantang anak untuk lebih suka membaca.
- Sepakati waktu khusus / disiplin khusus untuk membaca, misalnya sebelum tidur, saat di kendaraan, atau lainnya.
Yang sama sekali tak bisa kita tinggalkan adalah memberi keteladanan. Biar pun fasilitas itu sudah kita sediakan, tapi kalau keteladanannya tidak ada, mungkin ini sulit. Supaya kita bisa memberi teladan, yang perlu kita ubah adalah paradigma. Selama ini, kebanyakan kita menganggap membaca itu sekedar hobi, yang mengandung kesan suka-suka atau sesuai selera, seperti makan bakso. Padahal, membaca itu adalah perintah dan sekaligus kebutuhan bagi jiwa.
Proses Membangun Peradaban
Secara umum, minat baca kita masih tergolong rendah. Bahkan ini tak hanya terjadi pada masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang berstatus atau bekerja di bidang-bidang pengetahuan pun, seperti pelajar atau guru, dll, belum secara semarak memiliki tradisi membaca sebagai kebutuhan intelektual.
Padahal, kalau menyimak catatan sejarah, sokoguru membangun peradaban sebuah bangsa itu, katanya, ada tiga. Pertama, keberhasilan mutu pendidikan. Ukurannya bukan menjamurnya kampus yang menawarkan gelar S2 di ruko-ruko, tetapi tingkat keterpelajaran dan keterdidikan generasi.
Kedua, kemajuan ekonomi yang berbasiskan sinergisitas kekuatan SDM dan SDA. Bangunan ekonomi kita katanya sangat rentan terhadap berbagai ancaman. Alasannya, tak ada basis yang kuat dari kedua kekuatan itu. Kinerja SDM kita tak bisa mengimbangi tuntutan industri. Sementara, kita cenderung me-yatim-kan SDA. Akhinya, kita mengekspor TKI dan mengimpor beras.
Ketiga, kesadaran hukum. Ajakan untuk merenungi dosa-dosa di tempat ibadah atau di lapangan itu baik, tetapi tak bisa membangun peradaban apabila tidak ditopang oleh penegakan hukum yang bagus, ekonomi yang bagus dan mutu pendidikan yang bagus.
Tentu, tak mungkink kita menyerahkan ini pada pemerintah melulu. Toh kita sudah tahu pemerintah kita begini keadaannya. Sementara, masih ada kontribusi kita yang sangat vital peranannya yaitu menumbuhkan tradisi membaca di rumah-rumah. Semoga bisa kita jalankan.
Sumber : www.e-psikologi.com